TANJUNG REDEB – Upaya meningkatkan produktivitas komoditas lokal kembali digencarkan Pemerintah Kabupaten Berau. Melalui Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan (DTPHP), program pengembangan pisang kepok kini diarahkan menggunakan teknologi kultur jaringan—metode modern yang diyakini mampu menghasilkan bibit unggul, seragam, dan tahan penyakit.
Kepala DTPHP Berau, Junaidi, menyebut langkah ini merupakan bagian dari program Kementerian Pertanian (Kementan) yang telah berjalan di sejumlah daerah. Keunggulan kultur jaringan, kata dia, bukan hanya mempercepat ketersediaan bibit, tetapi juga memastikan kualitas tanaman jauh lebih stabil dibandingkan sistem pembibitan konvensional.
“Ke depan, pengembangan pisang di Berau akan lebih terarah menggunakan kultur jaringan. Bibit lebih cepat didapat, kualitasnya sama, dan risiko penyakit bisa ditekan,” ujar Junaidi.
Sejak dua tahun terakhir, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur melalui DTPHP Kaltim telah menyalurkan sekitar 4.000 bibit pisang kultur jaringan ke berbagai kabupaten dan kota, termasuk Berau. Tahun ini, Pemkab Berau kembali mengajukan proposal agar bisa mempertahankan alokasi bantuan tersebut.
Dua wilayah yang sebelumnya dikenal sebagai sentra pisang—Kampung Inaran dan Bena Baru—menjadi lokasi prioritas jika kondisi lahan dinilai masih memungkinkan untuk pengembangan lanjutan.
“Bantuan dari provinsi sangat membantu petani untuk mulai lagi. Kalau lahannya masih bagus, tentu kami lanjutkan pengembangan pisang di sana,” katanya.
Program kultur jaringan ini bahkan pernah menarik perhatian nasional. Pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, sejumlah staf kepresidenan diketahui sempat meninjau sentra pisang di Kalimantan Timur sebagai bentuk dukungan terhadap pengembangan komoditas hortikultura.
Berau sendiri memiliki sejarah panjang budidaya pisang. Salah satu varietas lokal yang cukup dikenal ialah pisang beranak pinang, yang digemari karena kualitas buahnya. Namun tren pertanian berubah, sebagian petani beralih ke jagung dan padi yang lebih banyak mendapatkan intervensi dari pemerintah pusat.
“Padahal pisang ini potensi keuntungannya bagus. Satu hektare bisa hasilkan cukup banyak. Masalahnya teknik budidaya kita masih tradisional,” ungkap Junaidi.
Ia mencontohkan praktik modern di Thailand, di mana satu pohon pisang hanya disisakan satu tandan agar kualitas buah tetap terjaga. Berbeda dengan di Berau, petani kerap membiarkan beberapa tandan tumbuh dalam satu pohon sehingga kualitasnya tidak optimal.
Meski banjir kerap melanda kawasan Inaran dan Bena Baru, Junaidi memastikan sejauh ini tanaman pisang tidak terdampak signifikan. “Belum ada laporan kerusakan pisang akibat banjir. Yang terdampak baru kakao dan ternak. Kalau nanti ada permintaan bantuan, tentu akan kami tindak lanjuti,” ujarnya.
Dengan pendekatan teknologi dan pendampingan budidaya yang lebih modern, Pemkab Berau berharap pisang kembali menjadi komoditas unggulan kampung-kampung di daerah tersebut. Langkah ini sekaligus membuka peluang ekonomi baru bagi petani lokal dan memperkuat ketahanan pangan berbasis produk daerah. (adv)












