Tanjung Redeb – Aliansi serikat buruh di Berau turun ke jalan dan berunjuk rasa menuntut kenaikan UMK Berau 2024 yang dinilai tidak signifikan. Kendati tuntutan itu disampaikan, UMK yang ditetapkan Dewan Pengupahan (Depeka) Berau 27 November 2023 lalu itu diklaim tetap atau tidak berubah.
Terkait hal itu, Kadisnakertrans Berau yang juga Ketua Depeka Berau, Zulkifli Azahri menjelaskan UMK Berau Rp 3.832.300 atau meningkat sejumlah Rp 159.409 atau mencapai 4,25 persen tersebut, sudah diputuskan oleh Depeka Berau. Bahkan, keputusan itu sudah disampaikan ke Gubernur Provinsi Kaltim.
“Kita tetap mengacu pada aturan hukum yang berlaku. Depeka sudah melakukan rapat dan itu sudah menghasilkan keputusan. Dan itu sudah disampaikan ke gubernur melalui rekomendasi bupati,” jelasnya.
Disampaikannya, keputusan Disnakertrans terkait UMK dengan perhitungan yang dilakukan itu tidak keluar dari PP Nomor 51 tahun 2023 tentang Pengupahan. Bahkan, dasar perhitungan tersebut sudah dibenarkan oleh pihak provinsi.
“Kalau sudah diputuskan gubernur, itu sudah menjadi keputusan yang sah. Apalagi perhitungan kita sudah terkoneksi dengan provinsi bahwa Disnakertrans sudah tepat menggunakan rumusan itu,” terangnya.
Menanggapi media ini terkait data inflasi dan PDRB provinsi sebagai dasar perhitungan UMK itu, Zulkifli menjelaskan hal itu sudah sesuai dengan PP Nomor 15 tersebut. Bahkan, aturan itu juga digunakan oleh semua daerah di Indonesia.
“Sehingga keputusan masih tetap sama. Tapi silakan saja mereka unjuk rasa atau menyampaikan pendapat di muka umum. Itu sah saja diatur oleh undang-undang. Tapi hasilnya kan bukan putusan hukum. Kami menjalankan aturan hukum,” imbuhnya.
Zulkifli menambahkan tuntutan kaum buruh itu dapat dipahami. Mereka memiliki kebebasan berpikir dan menyampaikan segala pendapat mereka. Namun, keputusan itu tidak berubah. Kendati demikian, UMK Berau 2024 yang telah ditetapkan itu, diyakininya, akan menjadi yang tertinggi di Kaltim.
“Saya paham tuntutan mereka. Tapi apa daya kita menggunakan frame hukum yang sudah ditetapkan. Kendati begitu kita juga tetap berupaya. Insyah Allah UMK Berau tetap tertinggi di Kaltim,” bebernya.
Menanggapi Zulkifli, Ketua DPC Serikat Pekerja Kimia Energi dan Pertambangan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPKEP SPSI), Munir menjelaskan keputusan yang dibuat itu merupakan keputusan sepihak Disnaker. Karena itu, keputusan itu dinilainya cacat hukum.
“Kepala Disnakertrans katakan itu sudah sesuai dengan PP Nomor 51. Padahal itu cacat hukum. Karena dalam PP 51 itu terkandung komponen yang dipakai untuk menetapkan UMK. Komponen itu yakni inflasi dan PDRB atau pertumbuhan ekonomi,” ungkapnya.
Diakuinya, keputusan itu cacat hukum karena tolok ukur atau komponen yang dipakai untuk menetapkan UMK itu bukan merujuk pada data inflasi dan PDRB Berau. Sebaliknya menggunakan data inflasi dan PDRB provinsi.
“Yang dipakai sebagai tolok ukur UMK ini inflasi dan PDRB provinsi. Yang mana peruntukkannya inflasi provinsi ya untuk UMP. Ini kan UMK. Kalau UMK kan seharusnya inflasi dan PDRB Berau,” ujarnya.
BPS Berau, ditegaskan Munir, tidak mampu menyajikan data inflasi dan PDRB Berau ketika data itu diminta pihaknya. Padahal, indikator itu sangat vital dan menjadi dasar perhitungan UMK Berau. Karena berdasar pada data yang tidak kontekstual dengan situasi Berau, Munir meminta agar keputusan itu dibahas ulang.
“BPS kemarin tidak siap menyajikan data inflasi. Alasannya karena itu bersifat dadakan. Ketika didesak lagi disampaikan oleh BPS bahwa mereka tidak punya dana atau anggaran untuk melakukan survei terkait inflasi atau pertumbuhan ekonomi,” tambahnya.
“Karena data inflasi dan PDRB Kabupaten tidak ada maka cacatlah keputusan itu. Makanya kami walk out dari ruangan. Tapi anehnya tetap diputuskan. Sehingga kami menuntut agar keputusan itu dibahas ulang,” sambungnya.
Munir berharap dengan dilakukannya demontrasi itu, Pemerintah Daerah (Pemda) dalam hal ini Bupati Berau dapat mendesak Disnakertrans Berau dan BPS Berau untuk meninjau ulang keputusan tersebut. Bahkan dirinya menyarankan agar bupati dapat mencopot jabatan dua pimpinan OPD tersebut.
“Kami juga meminta bupati agar mendesak Kepala Disnaker dan Kepala BPS untuk meninjau ulang keputusan tersebut. Ya kalau BPS ini tidak mampu mengelola data ini maka lebih terhormat BPS mundur dari jabatan. Bila perlu copot jabatannya. Termasuk Kadisnaker,” tutupnya. (TNW/FST)