Tanjung Redeb – Ketiadaan kewenangan menyelesaikan masalah di sektor kehutanan, kelautan, dan pertambangan seringkali membuat legislatif dan eksekutif Berau diam tanpa suara. Bahkan ketiadaan kewenangan itu dijadikan kambing hitam untuk tidak bekerja maksimal.
Mantan Anggota DPRD Provinsi Kaltim dan Bupati Berau, Agus Tantomo mengakui saat ini banyak kewenangan penting di daerah telah ditarik oleh pusat. Hal itu menyebabkan daerah kehilangan sebagian besar atau seluruh kewenangannya.
“Luas kabupaten Berau itu 3,4 juta hektare. Sepertiga laut. Sepertiga hutan. Tidak punya kita kewenangan di situ. Tambang juga luar biasa banyak. Kita tidak punya kewenangan. Mau nambang pasir juga tidak punya kewenangan,” jelasnya.
Kendati demikian, ketiadaan kewenangan jangan dijadikan sebagai alasan untuk tidak dapat menyelesaikan permasalahan yang muncul. Selama ini legislatif dan eksekutif, menurut Agus, masih cenderung berlindung di balik konsep kewenangan itu.
“Kalau begini kita tidak bisa bekerja. Kalau punya niat bekerja dan membangun ada saja jalan itu. Kembali ke niat dan kualitas. Kalau punya niat tapi tidak punya kualitas juga sulit,” terangnya.
Legislatif, lanjut Agus, dipilih oleh rakyat untuk menyuarakan berbagai persoalan yang terjadi. Sebab, rakyat yang memilih sudah menitipkan suaranya untuk diperjuangkan melalui fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan.
“Orang mencoblos itu menitip suara. Artinya banyak suara yang dititipkan. Maka jelas sudah anggota dewan tidak boleh diam. Jika anggota dewan diam, saya sepakat ada fungsi yang tidak dijalankan,” tegasnya.
Terkait fungsi pengawasan, Agus meminta anggota dewan untuk selalu mengawasi kinerja eksekutif. Sebab, eksekutif khususnya, masih sering bahkan suka berlindung di balik ketiadaan kewenangan. Jika pengawasan tidak dilaksanakan maka jelas legislatif tidak bekerja.
“Mungkin diharapkan itu panggil, rapat terbuka, biar publik tahu. Saya jujur tidak tahu banyak karena tidak menjabat. Tapi sepengetahuan saya seperti kemarin Pansus PDAM itu kan bagian dari bentuk pengawasan,” imbuhnya.
Pengawasan terhadap eksekutif, lanjut Agus sangat penting. Mengingat saat ini, kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) dan tambang ilegal (illegal mining) atau oleh orang Berau disebut koridor, masih banyak terjadi.
Kasus-kasus itu sebenarnya dapat diselesaikan jika pemerintah kreatif dan cerdas menemukan solusi. Seperti masalah listrik misalnya. Daerah tidak memiliki kewenangan yang luas, tetapi PLTU dapat dibangun. Itu berarti ada celah untuk keluar dari belenggu kewenangan yang menjerat daerah.
“Siapa berani membantah bahwa panasnya Berau tidak ada hubungan dengan kegiatan koridor? Dulu juga saat saya menjabat, kita tidak ada kewenangan, tapi tidak ada yang berani kerja koridor” bebernya.
Karena itu, tambah Agus pemerintah daerah mesti melihat tambang ilegal dari kacamata lingkungan. Dengan melihat kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya, peraturan daerah sebenarnya dapat dibuat. Hal itu sedemikian penting mengingat kehadiran koridor berkontribusi besar bagi Berau sebagai kota paling panas di Indonesia.
Selain legislatif, Agus juga meminta eksekutif untuk mewujudkan janji-janji kampanyanye. Apalagi janji kampanya itu sudah masuk dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD). Jika janji kampanye yang sudah masuk RPJMD itu tidak direalisasikan maka menjadi tugas legislatif untuk mengingatkannya.
“Di mana-mana bupati harus mewujudkan janjinya. Kalau bupati tidak mewujudkan janjinya, cek dulu RPJMD. Dan tugas DPR untuk awasi janji yang sudah dibuatnya juga dalam RPJM itu,” tutupnya. (*/TNW/FST)