Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Zona.my.id PT Zona Nyaman Indonesia
Get
Example floating
Example floating
BerauBerita

Indra Teguh Nur Cahyadi: Menjaga Api Jurnalisme di Ujung Kalimantan Timur

ZonaTV
88
×

Indra Teguh Nur Cahyadi: Menjaga Api Jurnalisme di Ujung Kalimantan Timur

Sebarkan artikel ini
14f16019 fa36 4219 a5b5 96020937cc7b
IKLAN VIDEO LIST

Kalau Anda belum pernah menginjakkan kaki ke Tanjung Redeb, mungkin nama Indra Teguh Cahyadi terdengar seperti satu dari sekian banyak nama wartawan lokal di pelosok Kalimantan.

Tapi tunggu dulu. Jangan buru-buru menganggap remeh. Karena dari kota kecil yang dijuluki “Bumi Batiwakkal” itulah, Teguh menyalakan lentera kecil: cahaya media yang jernih di tengah kabut informasi yang makin keruh.

Teguh bukan pekerja media yang suka tampil di layar kaca dengan mikrofon bersimbol. Ia tidak berlari-lari mengejar pejabat atau mengacung-acungkan press card di kerumunan. Ia lebih seperti penganyam: tenang, tekun, dan tahan banting. Kini, sebagai Ketua SMSI (Serikat Media Siber Indonesia) Kabupaten Berau sekaligus Ketua Harian SMSI Kaltim, ia bukan sekadar pelaku media, ia adalah tukang jaga gawang bagi puluhan media daring yang bertarung di tengah tsunami konten, clickbait, dan perang opini.

Dan jujur saja, itu bukan tugas ringan. Saya masih ingat kata-katanya dalam sebuah diskusi santai di Warung kopinya di 2023

“Media itu ibarat dapur. Kalau tidak diurus, bisa gosong. Tapi kalau terlalu banyak bumbu, bisa eneg pembacanya.”

Kalimat yang sederhana, tapi mengandung rasa. Mirip filosofi nasi goreng kaki lima, kalau pas, luar biasa nikmat, kalau tidak, ya sekadar nasi.

Teguh memahami betul bahwa tantangan media hari ini bukan sekadar menyampaikan informasi, tapi menyaring mana yang layak dikunyah publik dan mana yang hanya pantas dibuang ke tong informasi basi.

Di bawah kepemimpinannya, SMSI Berau mulai merapikan barisan: media yang terdaftar harus berbadan hukum, wartawan harus punya kompetensi. Tidak ada ruang bagi portal hantu yang hanya muncul saat musim proyek atau pilkada. Ia tahu, citra media lokal bisa rusak oleh satu-dua oknum yang menjual “berita” dengan harga sekantong pulsa atau makan siang.

Tak jarang, Teguh juga berseberangan dengan kekuasaan. Tapi ia tahu kapan harus berteriak dan kapan cukup menyentil. Gaya komunikasinya lebih mirip dialog warung kopi daripada debat seminar. Santai, tapi mengena. Mungkin karena itu, ia disegani bahkan oleh mereka yang pernah “terkoreksi” oleh beritanya.

Yang menarik dari Teguh adalah semangat mudanya yang tetap menyala meski rambutnya mulai dihiasi uban halus. Ia mengajar, melatih wartawan muda, bahkan menyusun pedoman etika redaksi di sela-sela kesibukannya. Bukan karena ia sok tahu, tapi karena ia tahu persis: kalau bukan kita yang jaga marwah profesi ini, siapa lagi?

Ia percaya bahwa jurnalisme adalah pekerjaan hati, bukan sekadar olah tangan. Dan media—meski berbasis daring dan digital—tetap harus punya rasa dan etika, seperti kuliner rumahan yang dimasak dengan cinta.

Jadi, kalau suatu hari Anda ke Berau dan melihat sekelompok wartawan sedang berdiskusi sambil ngopi di sebuah warung kecil, jangan heran kalau salah satu di antaranya adalah pria ramah bertubuh gempal yang berbicara santai tapi tajam. Itu mungkin Indra Teguh Cahyadi.

Dan kalau Anda beruntung, mungkin Anda akan mendengar dia berkata sambil tertawa kecil

“Menjadi wartawan itu bukan sekadar menulis berita, tapi menjaga akal sehat masyarakat.”

Ah, sungguh renyah—seperti tahu goreng yang masih mengepul.

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan