Tanjung Redeb – PT Berau Coal (BC) lagi-lagi tak menghadiri undangan rapat dengar pendapat (RDP) yang digelar Komisi I DPRD Berau. Tak ayal, perusahaan tambang raksasa itu dinilai kurang menunjukkan itikad baik.
Hal itu disampaikan Anggota Komisi I DPRD Berau, Rudi Mangunsong dalam RDP yang digelar pada Senin (4/9), terkait pembahasan lanjutan masalah lahan warga Kampung Tumbit Melayu yang berada di lokasi tambang BC.
Menurut Rudi, masalah pembebasan lahan milik dua warga Tumbit Melayu itu sudah berlangsung lama. Lahan yang dibebaskan juga sebenarnya bukan merupakan lahan sengketa. Jika BC legowo untuk hadir, permasalahan itu tidak mungkin berlarut-larut.
“Kalau kita sampaikan dengan argumentasi niat, dengan dua kali diundang tidak hadir mungkin ada itikad yang kurang bagus,” jelasnya.
Disimpulkan Rudi dari penyampaian Kepala Kampung Tumbit Dayak, Maspri, lahan dua warga itu sebenarnya tidak masuk dalam lahan konsesi. Selain itu, lahan itu juga bukan merupakan lahan sengketa. Karena itu, BC juga tidak mempunyai kewajiban untuk membebaskan lahan itu.
“Ini soal kepedulian dari pihak Berau Coal saja. Karena ini masalah hak yang tidak diatur dalam aturan. Bahwa BC harus memberikan sesuatu. Karena lahan ini tidak ada dalam konsesinya dia,” terangnya.
Sebagai bentuk kepedulian terhadap dua warga yang sudah menunggu jawaban, lanjut Rudi, BC seharusnya peka dan peduli dengan masalah itu. Karena itu, kehadiran BC sangat diperlukan. Apalagi lahan milik warga yang tidak dibebaskan itu turut terdampak aktivitas tambang di sekitarnya.
“Tapi nanti kami minta Berau Coal untuk memenuhi keinginan warga. Seandainya masalah ini tidak bisa ditempuh dengan mediasi, mungkin kita tempuh dengan upaya-upaya lain yang diatur oleh aturan ketatanegaraan, mungkin perdata,” tegasnya.
Senanda dengan Rudi, Camat Teluk Bayur Endang Iriani menjelaskan masalah pembebasan lahan milik dua warga Tumbit Melayu itu sebenarnya merupakan kewenangan BC sebagai pemilik konsesi.
Hanya saja Endang menyayangkan sikap BC yang seakan tidak kooperatif dengan persoalan itu. Apalagi undangan rapat tersebut bukan baru pertama kali terjadi.
“Kalau Berau Coal tidak hadir apa yang bisa kita putuskan. Karena keputusan ada di tangan Berau Coal. Ya kalau Berau Coal ini tidak hadir, ini akan menjadi debat kusir. Padahal kita sudah luangkan waktu untuk hadir dan tinggalkan pekerjaan lain,” keluhnya.
Terkait masalah itu, Kepala Kampung (Kakam) Tumbit Melayu, Maspri secara kronologis menjelaskan masalah pembebasan lahan itu sudah terjadi tahun 2016/2017 silam, sebelum dirinya menjabat. Saat itu, lahan itu ditargetkan untuk dibebaskan.
“Saya sempat dengar dari warga, mereka ini mendapat 15.000 ditambah bibit sawit. Wargaku ini tidak mau. Kenapa BC beri warga bibit sawit? Belum tentu warga bisa tanam. Kau gantikan bibit sawit itu menjadi uang,” bebernya.
Pembicaraan itu lanjutnya lalu dibawa ke BC. Namun, progres lanjutan terkait pembayaran atas lahan itu tidak menemui titik terang. Hal itu diperparah ketika Departemen Pembebasan Lahan BC dibubarkan.
“Kemudian Departemen pembebasan lahan ini dibubarkan. Maka kami ajukan ke bupati. Kemudian datanglah OPD-OPD terkait untuk melakukan pengecekan lapangan,” paparnya.
Setelah bertemu dengan Pemkab Berau, jawaban yang diberikan juga sama. Masalah pembebasan lahan itu merupakan kewenangan BC. Alhasil pemerintah daerah tidak mempunyai solusi. BC juga tidak mau membebaskan lahan dua warga itu.
Selepas difasilitasi Pemkab Berau, masalah itu lalu diadukan ke DPRD. Tiga bulan disurati, masalah itu akhirnya diagendakan dalam RDP yang digelar oleh Komisi I.
“Ke mana lagi warga kami mengadu, selain ke dewan. Lahan warga produktif tapi terganggu dengan lahan warga yang dibebaskan. Lahan ini sudah diukur. Sudah dijanjikan untuk dibayar. Surat tanah juga sudah diambil pihak BC,” kisahnya.
Karena itu, Maspri berharap masalah itu memiliki solusi. Pasalnya, pembebasan lahan itu sendiri juga sudah dijanjikan BC. Akibat janji yang tak kunjung datang itu, dua warga itu akhirnya tak bisa berkebun. Apalagi saat ini, lahannya turut terdampak oleh aktivitas tambang di sekitarnya.
“Saya sangat berharap dewan tolong ada penekanan ke pihak manajemen BC. Supaya warga kami ini tanahnya dibebaskan dan bisa berkebun di tempat lain,” sambungnya.
Superintendent Corporate Comunication PT BC, Rudini melalui sambungan telepon menjelaskan pembebasan lahan di Tumbit Melayu pada 2017 silam itu menyasar beberapa lahan yang masuk rencana pertambangan. Termasuk, lahan milik dua warga tersebut.
Secara khusus untuk lahan dua warga itu, sudah dilakukan komunikasi dan negosiasi. Mediasi juga terus dilakukan. Namun, pemilik lahan tetap bersikeras. Sehingga kesepakatan tidak terjadi.
Karena itu, BC membebaskan lahan-lahan lain milik warga yang sudah menemukan kata sepakat.
“Beberapa tahun berselang, lalu diminta dibebaskan lagi dua lahan itu. Namun arah penambangan sudah menjauh dan dua lahan tersebut sudah tidak masuk rencana,” sambungnya.
Konsekuensinya, perusahaan lalu memutuskan bahwa lahan dua milik warga itu tidak dibutuhkan lagi. Atau dengan kata lain, tidak lagi menjadi kebutuhan operasional perusahaan.
“Di internal kami, keputusan sudah final. Kami tidak membutuhkan lahan itu lagi,” tandasnya.
Lanjutnya, jika yang disoalkan mengenai dampak dari lahan bebas di sekitar dua lahan tersebut, pihaknya sudah melakukan pengecekan dengan instansi terkait dan hasilnya tidak ada dampak yang berpengaruh. (*/TNW/FST)