Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Zona.my.id PT Zona Nyaman Indonesia
Get
Example floating
Example floating
Balikpapan

Di Jalan yang Sunyi, Kita Menemukan Negara — catatan dari Car Free Day HUT Bhayangkara ke-79 Polda Kaltim

ZonaTV
20
×

Di Jalan yang Sunyi, Kita Menemukan Negara — catatan dari Car Free Day HUT Bhayangkara ke-79 Polda Kaltim

Sebarkan artikel ini
489d82d4 830e 4eb8 af2d 3a80dd097252
IKLAN VIDEO LIST

Minggu pagi di Balikpapan bukanlah tentang parade. Ia bukan tentang pidato yang menggema, bukan pula tentang derap pasukan yang membentuk barisan. Ia tentang jeda. Tentang sebuah pagi yang disisihkan dari rutinitas lalu lintas—agar manusia bisa berjalan, bernapas, dan merasa hadir di tengah sesamanya.

Di Car Free Day Bhayangkara ke-79, yang berlangsung di Lapangan Merdeka, ada sesuatu yang lebih pelan dari biasanya. Tapi justru karena itu, terasa lebih dalam. Di balik tenda pelayanan perpanjangan SIM, donor darah, dan klinik pelayanan kesehatan serta senam sehat, tersimpan sesuatu yang lebih dari sekadar pelayanan publik.

Ia adalah jejak lembut dari negara yang ingin menyentuh rakyatnya bukan dengan kekuasaan, tapi dengan kehadiran.

Dalam salah satu sudut, terlihat Polwan Reni. Ia tidak sedang memberi perintah. Tidak sedang menjaga barikade. Ia hanya berjoget kecil, berbaur bersama anak-anak yang bahkan mungkin belum tahu bahwa perempuan di depannya adalah seorang aparat penegak hukum.

Dan kita diingatkan: negara tidak selalu hadir dalam bentuk institusi yang formal. Negara bisa hadir dalam tawa seorang anak yang ditanggapi dengan tos ringan dari seorang polisi perempuan. Negara bisa hidup dalam tarian kecil yang tidak dirancang oleh protokol, tapi lahir dari naluri kemanusiaan seorang ibu—karena Polwan Reni, sebelum apapun, adalah seorang perempuan, yang paham arti melindungi, bukan sekadar menertibkan.

Simone Weil, filsuf Prancis, pernah berkata bahwa “kekuatan sejati tidak pernah keras.” Ia tidak muncul dalam teriakan atau dominasi. Justru kekuatan sejati hadir ketika yang kuat memilih untuk lembut. Ketika negara memilih untuk menjadi pelayan, bukan penguasa.

Maka pagi itu, Car Free Day bukan hanya tentang olahraga atau layanan publik. Ia tentang relasi. Tentang bagaimana institusi sebesar Polri membuka dirinya untuk disentuh dan menyentuh kembali—tanpa senjata, tanpa pagar kawat, tanpa jargon keamanan.

Dalam lanskap politik yang sering memisahkan “kami” dan “mereka”, acara seperti ini terasa seperti ruang pertemuan. Bahwa tidak semua hal harus dipertemukan lewat kotak suara atau layar debat. Kadang, ia cukup ditemukan dalam gerak bersama. Dalam donor darah yang tak menanyakan latar belakang pendonor. Dalam pelayanan SIM yang tak membedakan siapa yang duduk di depan.

Dan bukankah, seperti yang ditulis Hannah Arendt, bahwa politik yang sehat bukanlah soal kekuasaan, tapi soal kehadiran di ruang bersama?

Dalam acara ini, ruang itu tercipta. Jalanan yang biasanya didominasi kendaraan berubah menjadi tempat orang tua mengajak anaknya tertawa, petugas kepolisian membantu lansia menyeberang, dan remaja-remaja belajar bahwa polisi bisa tersenyum dan berjoget. Ini bukan tentang perubahan sistem, tapi perubahan wajah. Dari tegas menjadi hangat, dari birokratis menjadi manusiawi.

Kita sering membayangkan negara sebagai gedung tinggi dengan pagar besi, atau sebagai tangan yang mengatur. Tapi pagi itu, negara turun ke jalan, berjalan kaki bersama kita, menunduk ketika berbicara kepada anak kecil, menyodorkan tangan untuk membantu yang letih.

Car Free Day Bhayangkara bukan sebuah peristiwa besar. Tapi justru dalam ke-tidak-besarannya, ia penting. Karena di sana, kita tak hanya melihat wajah polisi. Kita melihat wajah rakyat, dan bagaimana keduanya bisa saling pandang tanpa rasa curiga.

Barangkali inilah bentuk baru sacrum officium — tugas suci negara: bukan sekadar menjaga hukum, tapi menjaga harapan bahwa kita masih bisa hidup berdampingan, tanpa takut, tanpa sekat.

Dan ketika acara itu usai, orang-orang pulang membawa oleh-oleh yang tak terlihat: perasaan bahwa negara bukan sesuatu yang jauh. Bahwa Polri bukan hanya pelindung, tapi juga pelayan—dan kadang, teman bermain di jalan raya yang kosong.

Di jalan yang sunyi dari kendaraan itu, kita menemukan suara paling lirih dari demokrasi:
bahwa negara sejati, adalah negara yang mau duduk, menunggu, dan hadir bersama.

Penulis : ESBE2025

Editor : Fery

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan