Tanjung Redeb – Kasus penambangan batu bara ilegal di Berau telah beberapa kali diungkap oleh Polres Berau. Sedikitnya, ada 5 kasus yang berperoses, hingga ke meja hijau (pengadilan). 3 diantaranya, telah mendapat putusan.
Kasat Reskrim Polres Berau, AKP Ardian Rahayu Priatna mengatakan, pihaknya terus berupaya untuk memberikan tindakan tegas terhadap pelaku penambang batu bara ilegal yang beroperasi di Berau.
Dikatakannya, belum lama ini, pihaknya juga sudah merilis satu kasus penambangan batu bara ilegal yang beroperasi di Kawasan Jalan Sultan Agung, Kelurahan Sei Bedungun.
“Kami sudah menangani 5 perkara terhadap kasus penambangan batu bara ilegal di Berau,” ujarnya.
Diakuinya, secara menyeluruh, para tersangka dijerat dengan pasal Pasal 158 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan denda paling banyak Rp 10 miliar.
Dikutip dari situs sipp.pn-tanjungredeb.go.id, tiga kasus penambangan batu bara ilegal telah mendapat putusan. Dimana, setiap kasusnya, mendapat hukuman yang berbeda-beda.
Terhadap terdakwa Dedi dan Pongtasik Ruben, pengadilan memutus hukuman pidana masing-masing 9 bulan kurungan dan denda masing-masing Rp 500 juta dengan ketentuan jika tidak sanggup membayar denda maka diganti dengan pidana kurungan selama 20 hari.
Sementara itu, terhadap terdakwa Ferdinan Rezky dan Baharuddin dijatuhkan pidana penjara selama 7 bulan, dengan denda masing-masing Rp 500 juta dengan ketentuan jika tidak sanggup membayar denda maka diganti dengan pidana kurungan selama 1 bulan.
Sedangkan terhadap terdakwa Muhammad Muklas Nurrohman dijatuhi hukuman penjara selama 1 tahun, masing-masing Rp 500juta dengan ketentuan jika tidak sanggup membayar denda maka diganti dengan pidana kurungan selama 1 bulan.
Saat ini masih berproses di Pengadilan Negeri Tanjung Redeb, dua kasus penambangan batu bara ilegal, dengan terdakwa Muhammad Haidir dan Helmi Wahyono.
Dikonfirmasi mengenai tuntutan yang diberikan, Kasi Pidum Kejaksaan Negeri Berau, Ito Aziz mengatakan, tuntutan yang diberikan kepada setiap terdakwa berkisar dari 7 bulan hingga 1 tahun.
“Itu tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU),” ujarnya.
Dikatakannya, terkait denda Rp 500 juta yang dapat digantikan dengan hukuman penjara tambahan pada setiap terdakwa memang berbeda-beda. Mulai dari 20 hari hingga 1 bulan lamanya.
“Itu kami sampaikan saat persidangan pembacaan tuntutan, dan kemudian diketuk oleh hakim pada sidang putusan,” katanya.
Diakuinya, tidak ada acuan berapa lama pidana tambahan itu diberikan. Pasalnya, itu berbeda dengan kasus narkotika dan tindak pidana korupsi (tipikor).
“Itu sebenarnya hanya pidana tambahan. Untuk acuannya memang tidak ada. Karena sifatnya hanya pidana tambahan dan sifatnya kurungan beda dengan narkotika yang subsidair dendanya berupa penjara. Kalau Tipikor dan narkotika biasanya lebih tinggi,” ucapnya.
Diakuinya, ada beberapa pertimbangan yang menjadikan tuntutan para terdakwa terbilang cukup singkat. Misalnya saja karena belum adanya hasil tambang yang diangkut dan kemudian, sebagian besar hanya bekerja sebagai operator.
“Ini ada yang sementara sidang. Karena, mereka sudah loading dan ada barang buktinya berupa batu bara, maka bisa jadi dituntut lebih,” tandasnya.
Masalah hukuman yang terbilang ringan itu pun mendapat perhatian serius dari pengamat hukum sekaligus akademisi Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah.
Menurutnya, meskipun hukumannya paling lama lima tahun penjara, namun di tangkap saja tidak cukup memberikan efek jera. Pasalnya tak sedikit juga beberapa oknum dari penegak hukum yang turut bermain di dalam kasus penambangan ilegal. Tak heran keberadaan hukum pun seakan mental bagi mereka yang sudah bermain dengan aparat.
“Artinya dari kepolisian pun sebenarnya gagal dalam menerapkan undang-undang yang telah diatur,” jelasnya ketika dihubungi melalui handphone, Jumat (18/8/2023).
Dikatakan, pemerintah perlu memberikan ganjaran yang setimpal bagi aparat yang turut memperparah masalah ini.
“Kalau penegakan hukumnya tumpul, ya enggak bakalan ada deterrent effect (efek jera), tapi justru makin menjamur mafia tambang,” tuturnya.
Pengamat hukum lainnya, Ari yang merupakan lulusan Universitas Mulawarman ini mengakui tuntutan yang diberikan serta putusan yang telah diketuk, terbilang cukup ringan.
“Itu memang terbilang ringan. Harusnya bisa lebih tinggi lagi,” katanya.
Dirinya pun mengungkapkan, saat ini yang mungkin terjadi di Berau, para tersangka yang ditangkap bukanlah aktor besar yang ada dibalik aktivitas ilegal tersebut. Para pelaku bahkan tidak memiliki alat namun dijadikan terdakwa.
“Seharusnya kasus tersebut bisa dikembangkan hingga ke pengepulnya,” tandasnya. (*/MLS/FST)